BAB I
TINJAUAN TEORITIS
A.
DEFENISI
Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di
defenisikan sebagai kelainan postur dan gerakan
non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara,
penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang
berkembang. ( Behrman : 1999, hal 67 – 70
)
Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang
disebabkan oleh abnormalitas system motor piramida ( motor kortek, basal
ganglia dan otak kecil ) yang ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur
pada serangan awal. ( Suriadi Skep :
2006, hal 23 – 27 ).
Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal
dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta
merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama
hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan
neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan sebelum juga
kelainan mental. ( Ngastiyah : 2000, hal
54 – 56 ).
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang
terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel
motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif
akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya. Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif,
tetapi perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi
serebral.
B.
KLASIFIKASI
CEREBRAL PALSY
Cerebral palsy dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Tipe spastic atau pyramidal ( 50% dari semua kasus CP,
otot-otot menjadi kaku dan lemah. Pada tipe ini gejala yang hamper selalu ada
adalah :
a. Hipertoni ( fenomena pisau lipat )
b. Hiperrefleksi yang disertai klonus.
c. Kecenderungan timbul kontraktur.
d. Reflex patologis.
Secara topografi
distribusi tipe ini adalah sebagai berikut :
a) Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b) Spastic diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota
gerak atas sedikit lebih berat.
c) Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota
gerak atas sedikit lebih berat.
d) Monopologi, bila hanya satu anggota gerak.
e) Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua
anggota gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.
2. Tipe disginetik ( koreatetoid, 20% dari semua kasus CP ),
otot lengan, tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan
tak terkendali, tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang.
Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan menghilang jika
anak tidur.
3. Tipe ataksik, ( 10% dari semua kasus CP ), terdiri dari
tremor, langkah yang goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan
koordinasi dan gerakan abnormal.
4. Tipe campuran ( 20% dari semua kasus CP ), merupakan
gabungan dari 2 jenis diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe
spastic dan koreoatetoid.
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional :
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional :
a) Ringan :
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan / aktivitas sehari-hari sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan / aktivitas sehari-hari sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
b) Sedang :
Aktivitas sangat terbatas, penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
Aktivitas sangat terbatas, penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
c) Berat :
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan social-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan social-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
C.
ETIOLOGY
Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3
bagian :
1.
Pranatal
a. Infeksi intrauterin : TORCH, sifilis, rubella, toksoplasmosis,
sitomegalovirus.
b. Radiasi.
c. Asfiksia intrauterine ( abrupsio plasenta previa, anoksia
maternal, kelainan umbilicus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan
lain-lain ).
d. Toksemia grafidarum.
2.
Perinatal
a. Anoksia/hipoksia.
b. Perdarahan otak.
c. Prematuritas.
d. Ikterus.
e. Meningitis purulenta.
3.
Postnatal.
a. Trauma kepala.
b. Meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama
kehidupan.
c. Racun : logam berat.
d. Luka Parut pada otak pasca bedah.
Beberapa penelitian
menyebutkan factor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada factor
pascanatal. Studi oleh nelson dkk ( 1986 ) menyebutkan bayi dengan berat lahir
rendah, asfiksia saat lahir, iskemia prenatal, factor penyebab cerebral palsy.
Faktor prenatal
dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan factor perinatal yaitu
segala factor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu
bulan kehidupan. Sedangkan factor pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan
sampai 2 tahun. ( Hagbreg dkk, 1975 ), atau sampai 5 tahun kehidupan ( Blair dan
Stanley, 1982 ), atau sampai 16 tahun ( Perlstein, Hod, 1964 )
D.
MANIFESTASI
KLINIS
Manifestasi
klinis cerebral plasy tergantung dari bagian dan luas jaringan otak yang
mengalami kerusakan :
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan reflek yang disertai
dengan klonus dan reflek Babinski kerusakan yaitu :
a. Monoplegia / monoparesis : Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota
gerak lebih hebat dari yang lainnya.
b. Hemiplegia / hemiparisis : Kelumpahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.
c. Diplegia / diparesis : Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih
hebat dari pada lengan.
d. Tetraplegia / tetraparesis : Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau
sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai yang lain
2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada usia pertama tampak flasid dan berbaring seperti kodok terlentang, sehingga tampak seperti kelainan pada “ lower motor neuron” menjelang umur 1 tahun berubah menjadi tonus otot dari rendah hingga tinggi. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus “cerebral palsy”.
Bayi pada usia pertama tampak flasid dan berbaring seperti kodok terlentang, sehingga tampak seperti kelainan pada “ lower motor neuron” menjelang umur 1 tahun berubah menjadi tonus otot dari rendah hingga tinggi. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus “cerebral palsy”.
3. Ataksia
Ialah gangguan koordinasi kerusakan terletak di serebulum, terdapat kira-kira 5% dari kasus “ cerebral palsy”.
Ialah gangguan koordinasi kerusakan terletak di serebulum, terdapat kira-kira 5% dari kasus “ cerebral palsy”.
4. Gangguan pendengaran
Terdapat pada 5-10% anak dengan “cerebral palsy” gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.
Terdapat pada 5-10% anak dengan “cerebral palsy” gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.
5. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan dilidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot sehingga sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan dilidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot sehingga sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
6. Gangguan mata
Biasanya berupa strabismus convergen dan kelainan refraksi, asfiksia berat, dapat terjadi katarak, hamper 25% penderita “celebral palsy” menderita kelainan mata.
Biasanya berupa strabismus convergen dan kelainan refraksi, asfiksia berat, dapat terjadi katarak, hamper 25% penderita “celebral palsy” menderita kelainan mata.
Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan
pada kasus yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.
Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak
tampak nyata sampai kekakuan yang berat, yang menyebabkan bentuk lengan dan
tungkai sehingga anak harus memakai kursi roda
Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP :
a. Kecerdasan dibawah normal.
b. Keterbelakangan mental.
c. Kejang/epilepsy ( trauma pada tipe spastic ).
d. Gangguan menghisap atau makan.
e. Pernafasan yang tidak teratur.
f. Gangguan perkembangan kemampuan motorik ( misalnya
menggapai sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan ).
g. Gangguan berbicara (disatria ).
h. Gangguan penglihatan.
i.
Gangguan
pendengaran.
j.
Kontraktur
persendian.
k. Gerakan menjadi terbatas.
E.
KOMPLIKASI
Ada anak
cerebral palsy yang menderita komplikasi seperti:
1. Kontraktur
yaitu sendi tidak dapat digerakkan atau ditekuk karena otot memendek.
2. Skoliosis
yaitu tulang belakang melengkung ke samping disebabkan karena kelumpuhan
hemiplegia.
3. Dekubitus
yaitu adanya suatu luka yang menjadi borok akibat mengalami kelumpuhan
menyeluruh, sehingga ia harus selalu berbaring di tempat tidur.
4. Deformitas
(perubahan bentuk) akibat adanya kontraktur.
5. Gangguan
mental. Anak CP tidak semua tergangu kecerdasannya, mereka ada yang memiliki
kadar kecerdasan pada taraf rata-rata, bahkan ada yang berada di atas
rata-rata. Komplikasi mental dapat terjadi apabila yang bersangkutan
diperlakukan secara tidak wajar.
F.
DIAGNOSIS
BANDING
1.
Proses degenerative
2.
Higroma subdural
3.
Arterio-venus yang pecah d.
Kerusakan medula spinalis e. Tumor intracranial.
G.
PENGOBATAN
/ TERAPI
Tapi tidak dapat disembuhkan dan merupakan kelainan yang
berlangsung seumur hidup. Tetapi banyak hal yang dapat dilakukan agar anak bisa
hidup semandiri mungkin.
Pengobatan yang dilakukan biasanya tergantung kepada
gejala dan bisa berupa : Terapi fisik.
H.
PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :
1. Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset,
seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya.
Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang
akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab
dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta
ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisioterapi
bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh
keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari – hari
2. Psiko terapi untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial
sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita
maupun terhadap keluarganya.
3. Koreksi operasi
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan
kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi
deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastic dari pada
tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah disbanding
dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan
jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon. Otot
atau pada tulang.
4. Obat – obatan
Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki
gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.
Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti
kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal,
dilatin dan sebagainya.
Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, otot golongan
benzodiazepine, misalnya : valium, Librium atau mogadon dapat dicoba.
Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil
(imipramine) diberikan pada keadaan depresi.
Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan
dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah
hari.
a. Loraces (penyangga)
b. Kaca mata
c. Alat Bantu dengar
d. Pendidikan dan sekolah khusus
e. Obat anti kejang
f. Obat pengendur otot ( untuk mengurangi tremor dan
kekakuan) : baclofen dan diazepam
g. Terapi okupasional
h. Bedah ortopedik / bedah saraf, untuk merekonstruksi
terhadap deformitas yang terjadi
i.
Terapi
wicara bisa memperjelas pembicaraan anak dan membantu mengatasi
masalah makan
j.
Perawatan
(untuk kasus yang berat)
Jika tidak terdapat
gangguan fisik dan kecerdasan yang bera, banyak anak dengan CP
yang tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah biasa.
Anak lainnya memerlukan terapi fisik yang luas pendidikan khusus dan selalu
memerlukan bantuan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Pada beberapa
kasus, untuk membebaskan kontraktur persendian yang semakin memburuk akibat
kekakuan otot, mungkin perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan juga perlu
dilakukan untuk memasang selang makanan dan untuk mengendalikan pefluks
gastroesofageal.
BAB II
PROSES KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
1. Identifikasianak yang mempunyai resiko
2. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak daripada wanita
3. Kap iritabel anak, kesukaran dalam makan, perkembangan
terlambat, perkembangan pergerakan kurang, postur tubuh yang abnormal, refleks
bayi persisten, ataxic, kurangnya tonus otot.
4. Monitor respon untuk bermain
5. Kap fungsi intelektual
a. Pemeriksaan Fisik
1) Muskuluskeletal : spastisitas,
Ataksia
2) Neurosensory : gangguan menangkap suara tinggi,
Gangguan bicara, Anak berliur, Bibir dan lidah terjadi gerakan dengan sendirinya,
Strabismus konvergen dan kelainan refraksi
3) Eliminasi : konstipasi
4) Nutrisi : intake
yang kurang
b. Pemeriksaan Laboraturium dan Penunjang
1) Pemeriksaan pendengaran ( untuk menentukan status
pendengaran )
2) Pemeriksaan penglihatan ( untuk menentukan status fungsi
penglihatan )
3) Pemeriksaan serum, antibody : terhadap rubela,
toksoplasmosis dan herpes
4) MRI kepala / CT scan menunjukkan adanya kelainan struktur
maupun kelainan bawaan : dapat membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran /
letak vertikal.
5) EEG : mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal atau
umum ( ensefalins ) / volsetasenya meningkat ( abses )
6) Analisa kromosom
7) Biopsi otot
8) Penilaian psikologik
B.
DIAGNOSA
YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Resiko cidera b/d gangguan pada fungsi motorik
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
kesukaran menelan dan meningkatnya aktivitas
3. Gangguan aktivitas b/d kelainan gerakan danpostur tubuh
yang tidak progresif
4. Resiko tinggi terhadap trauma b/d ataksia dan kelemahan
umum
5. Perubahan perfusi jaringan b/d edema serebral yang
mengubah / menghentikan aliran darh arteri / vena
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d penekanan respon
inflamasi ( akibat – obat )
7. Kurangnya pengetahuan b/d perawatan dirumah dan kebutuhan
terapi
C.
RENCANA
ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa
I :Resiko cidera b/d gangguan pada fungsi motorik
Tujuan : Setelah dilaksanakan perawatan, diharapkan berkurangnya resiko cidera.
Kriteria hasil :
Tujuan : Setelah dilaksanakan perawatan, diharapkan berkurangnya resiko cidera.
Kriteria hasil :
a. menyatakan pemahaman factor yang menyebabkan cidera
b. Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untu
c. menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari
cidera.
Intervensi
:
1. Ajarkan pola makan yang teratur
2. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan /
kegiatan, Pertahankan
kebersihan mulut anak.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi
4. Berikan
intake yang adekuat untuk menghindari terjadinya komplikasi / memperberat
penyakit lebih lanjut.
Diagnosa
II :
Gangguan
pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kecacatan multifaset
Tujuan : Klien tidak
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Kriteria
Hasil : Pertumbuhan
dan perkembangan klien tidak mengalami keterlambatan dan sesuai dengan
tahapan usia.
Intervensi :
1.
Berikan diet nutrisi untuk pertumbuhan ( asuh )
2.
Berikan stimulasi atau rangsangan untuk perkembangan
kepada anak ( asah )
3.
Berikan kasih sayang ( asih )
Diagnosa III : Gangguan
sensori persepsi visual berhubungan dengan strabismus
Tujuan :
1. meningkatkan
ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu
2. mengenal
gangguan sensori dan berkompensasi terhdap perubahan
3. mengidentifikasi/memperbaiki
potensial bahaya dalam lingkungan
Kriteria hasil :
1. peningkatan
ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu
2. klien
memahami dengan gangguan sensori yang dialami dan dapat beradaptasi
3. bahaya
disekitar klien terminimalisir
Intervensi :
1. tentukan
ketajaman penglihatan, apakah satu atau kedua mata terlibat.
2. Orientasikan
pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain diareanya.
3. Observasi
tanda – tanda dan gejala disorientasi, pertahankan pagar tempat tidur sampai
benar – benar pulih.
4. Letakkan
barang yang dibutuhkan / posisi bel pemanggil dalam jangkauan pada sisi yang
tak dioperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar